Headlines News :
Home » » Pembinaan Sepakbola Ala Jerman

Pembinaan Sepakbola Ala Jerman

Written By Unknown on Wednesday, October 5, 2011 | 8:27 AM


“Apa salahnya naturalisasi pemain keturunan buat kemajuan timnas, bukannya Jerman aja hampir setengahnya pemain naturalisasi?” tanya sahabatku Nandar saat kita ngobrol awal tahun lalu, beberapa hari pasca timnas garuda ditekuk harimau malaya di final AFF. Aku sesaat terdiam, bukannya karena aku ini penggemar timnas Jerman sejak masih pakek seragam SD hingga sekarang, tetapi jelas berbeda naturalisasi ala Indonesia dan Jerman. Aku pun selepas itu cerita panjang lebar…..
Era 90an, saat Jerman masih berupa tim yang textbook dan cenderung membosankan, mereka mampu menggondol piala di tahun 90 dan 96, yaitu World Cup 1990 dan Euro 96, serta nyaris juara di euro 92 sebelum diledakkan tim dinamit Denmark di final. Di era tersebut, aku masih ingat bintang seperti Jurgen Klinsmann, Oliver Bierhoff, Thomas Haessler, Mattias Sammer, Bodo Ilgner, dll menjadi punggawa timnas. Namun selepas euro 96, ada masalah yang rumit dan saat ini juga dialami banyak negara, juga Indonesia, yaitu kurangnya pemain lokal berkualitas karena banyaknya pemain asing di Bundesliga.
Maka di era itu, pelatih Jerman, Berti Vogts, mendesak agar DFB (Federasi sepakbola Jerman) menaturalisasi Sean Dundee karena Jerman kekurangan stok striker. Striker berkewarganegaraan Afrika Selatan itu adalah pencetak 16 gol di musim 1995–96 dan 17 gol di musim 1996–97. Namun, meski telah beralih kewarganegaraan, Dundee sayangnya gagal tampil sekalipun di timnas. Di era 1998-2000, muncul nama Paulo Rink, pemain asal Brazil yang tercatat 16 kali memperkuat timnas Jerman. Selain pemain naturalisasi, Jerman diisi pemain uzur di masa itu, seperti Klinsmann, Kirsten, dan Marschall.
Tercatat, di tahun 2000, 50% pemain di Bundesliga adalah pemain asing. Kegagalan di Piala Dunia 1998 dan euro 2000 menjadi pukulan telak bagi DFB, dan akhirnya membawa Jerman ke sebuah era baru revolusi metode pembinaan pemain dan pengembangan akademi di seluruh Jerman. Struktur tersebut begitu terencana dan rapih, dimulai tahun 2002. Konsep apa yang digunakan? Mereka membangun 121 pusat pelatihan di seantero negeri, mendidik pemain umur 10-17 tahun dengan bekal teknis. Masing-masing klub Bundesliga 1 dan Bundesliga 2 juga diwajibkan memiliki akademi sepakbola junior.
Apa yang diperoleh pemain muda selama di akademi? Para pemain muda lebih dibekali dengan kemampuan skill individu yang baik dan berteknik tinggi. Selain itu, DFB juga mendesak pemerintah Jerman untuk memudahkan agar para pemain muda dapat berintegrasi pada sistem sepakbola mereka, artinya pendidikan maupun latihan dapat dijalankan secara bersama-sama. Klub Bundesliga wajib nyediain pendidikan utk pemain di akademinya. Hal ini tentu berbeda dengan di negara lain, karena dengan pendekatan itu, anak-anak jerman bisa latihan sampai 18 jam per minggu, tanpa khawatir pendidikannya terganggu karena baik latihan maupun pendidikan sudah ada dalam satu sistem. Sebagai pembanding, di Inggris, anak-anak per minggu hanya latihan 2-4 jam saja, karena mereka masih harus sekolah.
Setiap tahunnya, sekitar 5000 anak di usia 12 tahun masuk ke akademi sepakbola! Dibanding dengan Inggris, Perancis, dan Italia, Jerman memiliki pemain sepakbola 4 kali lebih banyak. Trus akademi-akademi itu latihan doang? Ya nggak lah, ada liganya, menurut jenjang umur, wilayah, atau negara bagian. secara rutin juga DFB mengirim timnasnya berbagai umur ke turnamen2, sehingga pengalaman telah diperoleh sejak dini.
Metode latihan juga berbeda menurut jenjang umur. Untuk umur 6-10 tahun, cocoknya pakek sistem 4-a-side, itu tuh, 4 v 4, di lapangan kecil supaya skill-nya muncul. Nah, selanjutnya di umur sampai 14 tahun dah belajar apa? strategi? Belum! Hingga umur 14 tahun, mereka hanya diajarkan bahwa “sepakbola itu menyenangkan”. Pemain junior itu harus fun sama bola dulu. Barulah setelah di atas 14 tahun mereka mulai main 11-a-side dan mengenal taktik. Bahkan urusan taktik dan strategi pun nggak serampangan semau si pelatih, udah ada standarnya. Semua klub amatir dan pro diminta memenuhi standar latihan fisik dan taktik timnas Jerman. Skema 4-4-2 jadi standar. Skema 4-4-2 itu boleh ngembangin ke 4-3-1-2, 4-2-3-1, 4-4-1-1, seperti halnya yang pak Joachim Low lakukan di timnas.
Wah panjang juga ya, dah selesai? Eitz belum lah, selanjutnya ke Bundesliga. Tidak seperti di Indonesia yang semuanya diurus PSSI, di Jerman terpisah, DFB nggak ngurusin liga, melainkan DFL. Jadi yang punya wewenang mengatur liga itu DFL, dan DFL itu intinya ya dibentuk oleh seluruh klub Bundesliga 1 dan 2. Ngomong2 masalah DFB, mereka kompak juga lho dengan klub-klub Bundesliga, selalu ada diskusi tahunan tentang pengembangan pemain.Berkat revolusi di sistem akademi, Jerman sekarang kebanjiran pemain muda. Pemain asing pun ramai-ramai tergusur. Tahun 2004 jumlah pemain asing di Bundesliga masih 60%. Sekarang? Di Bundesliga 1 tinggal 39% dan Bundesliga 2 malah tinggal 29%. Jadi jangan heran kalau nonton liga champions, klub seperti Dortmund, Munchen, dan Leverkusen didominasi pemain lokal lho. Di starting eleven Munchen, mungkin tinggal Robben, Ribery, dan van Buyten aja yang reguler tampil, artinya 8 sisanya lokal, bandingkan dengan Persib! Selain itu, rata2 pemain di klub bundesliga berusia 23 tahun. Mereka lebih suka pemain sendiri, hemat anggaran. Lebih lanjut, setiap klub Bundesliga harus punya 12 pemain asli Jerman di daftar skuad per pertandingan (dari 18 pemain yang meliputi 11 inti, 7 cadangan).
Untungnya apa sih mengembangkan pemain muda? Mahal lho investasinya, 100 juta euro per musim, tapi kalo keuntungan total liga mencapai 2 milyar euro, ketutup dong. Ditambah dengan fakta bahwa hampir semua klub jerman memiliki neraca keuangan yang sehat serta stadion bintang 5, bahkan untuk klub sekelas Bundesliga 2 pun.
“Intinya apa?” teriak temanku setelah mulut ini berbusa berbicara tentang Jerman.
“Intinya, Ozil dididik Schalke, Boateng dan Aogo dididik Hamburg, Khedira dan Gomez produk Stuttgart, Klose oleh Kaiserslautern, dan Podolski oleh FC Koln, meski pemain2 tersebut berkewarganegaraan ganda selain jerman, rasanya sah-sah saja mereka memperkuat timnas Jerman, dari lahir, belajar nendang bola, dan bertanding mereka di Jerman kok (kecuali Podolski dan Klose, yang lahir di Polandia, tapi tetep hasil akademi sepakbola Jerman)”, jawabku makin panjang.
“Oooo…wah cocok nih di Indonesia”, sahutnya….
Untuk kata terakhir dari temenku itu, praktis saya nggak bisa ngejawab….
“Eitz, ada satu tuh yang naturalisasi, yang orang brazil (Jeronimo Cacau maksudnya)”, tambah temenku, nggak mau kalah….
“Iya sih, tapi kan cuma dia, 2,5% dari pemain-pemain timnas…anggap aja zakat!”

@kompsiana
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Nanggroe Corner - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template