ROBERTO Mancini, seorang lagenda sepak bola Italia yang pernah melatih klub kesayangan ane , Inter Milan, pernah bersuara keras, ”Pertandingan tanpa penonton sama saja dengan nol besar.” Dia pun mengusulkan agar Seri A dihentikan untuk sementara ketimbang tetap berjalan namun tanpa keberadaan penonton. Ungkapan ini tentunya bukan tanpa alasan. Hal itu merupakan satu bentuk keprihatinannya atas kebijakan yang dikeluarkan Federasi Sepak Bola Italia (FIGC) saat itu.
Peristiwa berdarah seusai pertandingan antara Catania melawan Palermo di Sisilia yang menewaskan seorang polisi, Filippo Raciti (38), memaksa FIGC mengeluarkan peraturan yang sangat ketat dalam setiap pergelaran pertandingan di Seri A ataupun B Liga Italia. Salah satu aturan yang diterapkannya adalah pertandingan tanpa penonton bila stadion tidak sesuai dengan standar yang ada. Sialnya, Stadion Giuseppe Meazza, yang menjadi markas pasukan Mancini, merupakan satu dari sekian stadion yang yang dianggap belum memenuhi standar baru keamanan yang ditetapkan pengelola Liga Italia.
Kerusuhan dalam sepak bola di negeri pizza tersebut memang bukan barang yang baru. Kejadian itu merupakan satu dari sekian peristiwa yang melukai ataupun merengut jiwa manusia dalam sepak bola. Tragedi Stadion Heisel di Brussel (1985), Hillsborough di Sheffield (1989), atau yang di dalam negeri sendiri saat Persebaya Surabaya berhadapan dengan Arema Malang (2006) merupakan beberapa catatan kelabu di dalamnya.
Pendeknya, hampir di seluruh belahan dunia yang menyelengarakan permainan mundial ini tidak lepas dari yang namanya kerusuhan. Apapun bentuknya. Kerusuhan itupun bisa terjadi antar pemain, pemain dengan wasit, suporter dengan pihak keamanan, dan yang sering terjadi suporter dengan suporter.
Aktualisasi Kemanusiaan
Sepakbola pada hakekatnya adalah pemain dan penonton. Karena hakekatnya itulah sepak bola menciptakan dirinya sendiri sebagai sesuatu yang harmoni, sebuah keseimbangan. Hal ini mau menunjukkan bahwa di dalam sepak bola seolah-olah telah menjadi dualisme yang tak terpisahkan. Pincang bila masing-masing berdiri sendiri-sendiri.. Karenanya, hukuman di sepak bola yang cukup membuat gigit jari bagi para pemain ataupun penonton adalah ketika harus bertanding tanpa kehadiran penonton. Dan sebaliknya. Bisa jadi, prinsip inilah yang juga dipegang oleh seorang Mancini..
Kehadiran penonton dalam sebuah pertandingan sepak bola tidak dapat dipungkiri mempunyai dampak yang sangat besar. Selain pengaruh komersial, di sisi lain dampak ‘kemanusiaan’ manusia juga turut tertarik di dalamnya..
Hanya untuk mengungkapkan rasa sehati dengan pemain (klub) kesayangannya, penonton rela menunggu berjam-jam bahkan berhari-hari untuk sebuah pertandingan, melumuri atau mencat badannya dengan simbol-simbol klub yang dijagokannya, ataupun tanpa ragu berteriak-teriak dan menari-nari. Dasyatnya lagi, mereka pun siap pasang badan dan rela ‘mati’ demi menjaga panji-panji dan gengsi klub yang dicintainya.
Sebaliknya, lihat saja aksi pemain yang baru saja mencetak gol, tidak-jarang berlari-lari disertai dengan berteriak, menjatuhkan badan sambil meluncur di lapangan, berlari dengan kepala tertutup kaosnya, mengangkat-angkat tangan sambil mengepal ataupun memperlihatkan jari telunjuknya, membuka baju lalu melemparkannya dan masih banyak lagi aksi yang nampak kekanak-kanakan. Betapa gairah dan emosi kegembiraan pemain ataupun penonton akan meletus ketika sebuah gol yang diharapkan tercipta. Menariknya, semua tingkah laku tersebut acap kali diarahkan kepada penonton. Malah terang-terangan dikatakan bahwa gol-gol tersebut dipersembahkan kepada para penonton, dengan kata lain para fans. Kalau sudah begitu, kita dapat bayangkan apa jadinya bila pemain dan penonton dipisahkan?
Ironinya, hiruk pikuk kegembiraan tersebut acapkali di waktu yang sama dibarengi dengan kekecewaan ataupun kesedihan di sisi lain. Ekspresi kekesalan melalui marah ataupun kesedihan melalui air mata tersebut sangat nampak sekali ketika kekalahan hadir.
Adanya sorak sorai dan air mata dalam sepak bola menunjukkan fluktuasi passio yang menggelegak. Teatrikal pemain dan penonton karena sepak bola sangat-sangat manusiawi. Barangkali hanya di sepak bola, manusia menemukan wujudnya yang paling dasar. Wujud yang tak pernah lepas dari kegembiraan, keberuntungan, kesedihan, dan kesalahan yang bersumber bisa para penonton ataupun pemain di dalamnya.
Sumber : Martinus Prasetyo
Peristiwa berdarah seusai pertandingan antara Catania melawan Palermo di Sisilia yang menewaskan seorang polisi, Filippo Raciti (38), memaksa FIGC mengeluarkan peraturan yang sangat ketat dalam setiap pergelaran pertandingan di Seri A ataupun B Liga Italia. Salah satu aturan yang diterapkannya adalah pertandingan tanpa penonton bila stadion tidak sesuai dengan standar yang ada. Sialnya, Stadion Giuseppe Meazza, yang menjadi markas pasukan Mancini, merupakan satu dari sekian stadion yang yang dianggap belum memenuhi standar baru keamanan yang ditetapkan pengelola Liga Italia.
Kerusuhan dalam sepak bola di negeri pizza tersebut memang bukan barang yang baru. Kejadian itu merupakan satu dari sekian peristiwa yang melukai ataupun merengut jiwa manusia dalam sepak bola. Tragedi Stadion Heisel di Brussel (1985), Hillsborough di Sheffield (1989), atau yang di dalam negeri sendiri saat Persebaya Surabaya berhadapan dengan Arema Malang (2006) merupakan beberapa catatan kelabu di dalamnya.
Pendeknya, hampir di seluruh belahan dunia yang menyelengarakan permainan mundial ini tidak lepas dari yang namanya kerusuhan. Apapun bentuknya. Kerusuhan itupun bisa terjadi antar pemain, pemain dengan wasit, suporter dengan pihak keamanan, dan yang sering terjadi suporter dengan suporter.
Aktualisasi Kemanusiaan
Sepakbola pada hakekatnya adalah pemain dan penonton. Karena hakekatnya itulah sepak bola menciptakan dirinya sendiri sebagai sesuatu yang harmoni, sebuah keseimbangan. Hal ini mau menunjukkan bahwa di dalam sepak bola seolah-olah telah menjadi dualisme yang tak terpisahkan. Pincang bila masing-masing berdiri sendiri-sendiri.. Karenanya, hukuman di sepak bola yang cukup membuat gigit jari bagi para pemain ataupun penonton adalah ketika harus bertanding tanpa kehadiran penonton. Dan sebaliknya. Bisa jadi, prinsip inilah yang juga dipegang oleh seorang Mancini..
Kehadiran penonton dalam sebuah pertandingan sepak bola tidak dapat dipungkiri mempunyai dampak yang sangat besar. Selain pengaruh komersial, di sisi lain dampak ‘kemanusiaan’ manusia juga turut tertarik di dalamnya..
Hanya untuk mengungkapkan rasa sehati dengan pemain (klub) kesayangannya, penonton rela menunggu berjam-jam bahkan berhari-hari untuk sebuah pertandingan, melumuri atau mencat badannya dengan simbol-simbol klub yang dijagokannya, ataupun tanpa ragu berteriak-teriak dan menari-nari. Dasyatnya lagi, mereka pun siap pasang badan dan rela ‘mati’ demi menjaga panji-panji dan gengsi klub yang dicintainya.
Sebaliknya, lihat saja aksi pemain yang baru saja mencetak gol, tidak-jarang berlari-lari disertai dengan berteriak, menjatuhkan badan sambil meluncur di lapangan, berlari dengan kepala tertutup kaosnya, mengangkat-angkat tangan sambil mengepal ataupun memperlihatkan jari telunjuknya, membuka baju lalu melemparkannya dan masih banyak lagi aksi yang nampak kekanak-kanakan. Betapa gairah dan emosi kegembiraan pemain ataupun penonton akan meletus ketika sebuah gol yang diharapkan tercipta. Menariknya, semua tingkah laku tersebut acap kali diarahkan kepada penonton. Malah terang-terangan dikatakan bahwa gol-gol tersebut dipersembahkan kepada para penonton, dengan kata lain para fans. Kalau sudah begitu, kita dapat bayangkan apa jadinya bila pemain dan penonton dipisahkan?
Ironinya, hiruk pikuk kegembiraan tersebut acapkali di waktu yang sama dibarengi dengan kekecewaan ataupun kesedihan di sisi lain. Ekspresi kekesalan melalui marah ataupun kesedihan melalui air mata tersebut sangat nampak sekali ketika kekalahan hadir.
Adanya sorak sorai dan air mata dalam sepak bola menunjukkan fluktuasi passio yang menggelegak. Teatrikal pemain dan penonton karena sepak bola sangat-sangat manusiawi. Barangkali hanya di sepak bola, manusia menemukan wujudnya yang paling dasar. Wujud yang tak pernah lepas dari kegembiraan, keberuntungan, kesedihan, dan kesalahan yang bersumber bisa para penonton ataupun pemain di dalamnya.
Sumber : Martinus Prasetyo
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !